Arsip | Januari, 2012

MEMPERTAHANKAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

31 Jan

OLEH : DRS. H. ANWAR YASIN
(Anggota Komisi A DPRD Jawa Barat dari F-PKS)

Bumi Pertiwi kembali dirundung duka. Seakan tak kenal henti, ujian datang silih berganti. Mulai dari ujian berupa bencana alam, hingga bencana kemanusiaan. Dalam waktu kurang dari satu bulan saja, telah terjadi dua peristiwa yang mengguncang nurani dan berpotensi menghancurkan kerukunan antar umat beragama.

Peristiwa pertama adalah kembali meletusnya kerusuhan bermotif SARA di Ambon. Minggu, 11 September 2011 merupakan hari kelabu bagi ribuan warga Ambon. Kerusuhan dipicu berita tewasnya seorang tukang ojek bernama Darfing Saiman di kawasan Gunung Nona, Kudamati, Ambon. Masih belum jelas sebab kematiannya, apakah karena penganiayaan dan pembunuhan ataukah karena kecelakaan tunggal seperti dijelaskan oleh pihak kepolisian.

Namun massa terlanjur terprovokasi. Masyarakat yang emosi kemudian membakar sejumlah rumah dan kendaraan. Tawuran seperti perang terbuka pecah diantara dua kubu yang bertikai. Akibatnya 8 orang tewas, ratusan orang mengalami luka-luka dan ribuan lainnya harus mengungsi karena terancam keselamatan jiwanya.

Sedangkan peristiwa kedua adalah meledaknya bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh di kawasan Kepunton Solo pada Minggu, 25 September 2011. Ironisnya, peledakkan bom bunuh diri tersebut terjadi sesaat setelah acara kebaktian selesai. Akibatnya satu orang yang diduga pelaku tewas seketika dan 8 orang lainnya mengalami luka-luka akibat terkena serpihan bom.

Juru bicara Jamaah Anshorut Tauhid Jawa Timur, Zulkarnain, menduga bahwa bom bunuh diri ini berkaitan langsung dengan kerusuhan yang terjadi di Ambon. Menurut Zulkarnain, bom bunuh diri ini merupakan imbas dari ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus kerusuhan di Ambon. Kelompok-kelompok yang siap berjihad tertahan masuk karena pengetatan pintu-pintu masuk ke Ambon. Akibatnya banyak yang memutuskan untuk menyalurkan niat jihadnya di luar Ambon.

Maka perlu diperhatikan secara serius, bahwa peristiwa kerusuhan bermotif SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dapat menimbulkan potensi konflik horisontal yang sangat rentan terjadi di Indonesia. Peristiwa kerusuhan di Ambon dan peledakan bom bunuh diri di Solo ini tidak boleh dipandang remeh dengan menganggapnya sebagai kejadian yang sudah biasa terjadi. Karena hal ini dapat memicu terjadinya konflik yang lebih luas di seluruh penjuru tanah air.

Dalam aspek sosial ekonomi kemasyarakatan, Agus Gumiwang Kartasasmita menekankan minimal terciptanya tiga hal dalam upaya menciptakan suasana Ambon yang kondusif dan menghindari terulangnya peristiwa kerusuhan serupa. Pertama, pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab dalam sektor kesejahteraan rakyat (Kesra) dan sosial, segera mencari terobosan menyelesaikan akar permasalahan di Ambon. Sebagai contoh, perangi kemiskinan di Maluku yang menurut statistik merupakan provinsi nomor tiga termiskin di Indonesia.

Kedua, rajut kembali nilai-nilai budaya Maluku yang telah terkoyak akibat konflik horizontal yang berkepanjangan, nilai budaya seperti ‘pela gandong’ yang seharusnya bisa menjadi perekat sosial di masyarakat. Yang ketiga, hilangkan sekat-sekat, hilangkan segregasi penduduk yang ada di Ambon. Sebab, segregasi ini tidak sehat, dan mudah menjadi penyebab kerusuhan. Akibat segregasi ini, muncul ego antar umat beragama dan antar kampung.

Sedangkan dalam aspek hukum dan penegakkan keadilan, kepolisian perlu bertindak cepat dalam menangkap dan mengadili setiap pelaku serta dalang dari kedua peristiwa ini. Jangan sampai aparat penegak hukum ini mendapatkan tudingan miring dari masyarakat berupa tuduhan bertindak diskriminatif kepada pihak tertentu. Karena setiap warga negara sama dan setara kedudukannya di hadapan hukum. Selama pemerintah atau penegak hukum bertindak diskriminatif, tidak tegas dan tidak transparan dalam menangani kedua peristiwa ini, maka dikhawatirkan hal ini akan terus terulang di kemudian hari.

Bagaimanapun, mempertahankan kerukunan umat beragama merupakan tugas berat yang begitu mulia. Perlu kerja keras dari berbagai pihak agar sesama umat beragama tidak mudah untuk terprovokasi dalam kerusuhan bermotif SARA. Perlu juga terus diefektifkan upaya preventif dari aparat yang berwenang dalam menjaga pertahanan dan keamanan. Dan tugas berat ini bukan saja kewajiban pihak intelejen kepolisian dan atau militer saja, tapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat. Para pemuka agama, tokoh masyarakat dan pejabat setempat perlu terus membangun komunikasi dan kerjasama yang baik dalam menjaga kerukunan umat beragama ini.

Akhir kata, semoga Bumi Pertiwi segera tersenyum kembali. Sudah cukup rasanya masyarakat dirundung duka dengan berbagai tragedi akibat keberingasan manusia atas manusia yang lain. Mari terus jaga dan pertahankan kerukunan antar umat beragama dengan saling bersinergi dalam kebaikan serta bertoleransi dalam perbedaan. Karena Indonesia adalah milik kita bersama, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada diantara kita. Wallahua’lam.***

MENAKAR PERDA TRANSPARANSI, PARTISIPASI DAN AKUNTABILITAS PEMDA

18 Jan

OLEH : DRS. H. ANWAR YASIN
(Anggota Komisi A DPRD Jawa Barat dari F-PKS)

 Jika tidak ada aral melintang, dalam waktu dekat Provinsi Jawa Barat insya Allah akan menerapkan Peraturan Daerah yang mengatur tentang Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah yang dibahas oleh 23 anggota Pansus A DPRD Provinsi Jawa Barat ini, merupakan suatu ikhtiar bersama dalam upaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di bidang pelayanan publik yang lebih baik. Perda ini juga merupakan perwujudan pemerintahan yang bersih dan terbuka, bertanggung jawab, serta konsistensi dalam penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas merupakan suatu semangat nilai dari prinsip Good Governance atau biasa disebut tata kelola pemerintahan yang baik. Tata pemerintahan tersebut mencakup seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Sehingga urgensi mendasar dari prinsip Good Governance ini adalah agar seluruh sumber daya negara yang berada dalam pengelolaan pemerintah, dapat mencapai tujuan sebesar-besarnya demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, arah kebijakan otonomi diberikan pada daerah secara luas. Kebijakan otonomi ini diharapkan dapat mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan pelibatan serta peran serta aktif dari masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Pelibatan serta partisipasi aktif dari masyarakat ini menjadi penting karena sejalan dengan prinsip Participatory dalam Good Governance yaitu suatu prinsip yang mengatur bahwa orang atau pihak yang terkena dampak dari suatu kebijakan harus dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Hal ini karena setiap kekuasaan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah, merupakan titipan amanat yang diberikan oleh masyarakat. Sehingga hal ini harus bersifat transparan serta dapat dipertanggung jawabkan (accountable) kepada masyarakat umum dan seluruh stakeholders.

Namun, sebagaimana pepatah tiada gading yang tak retak, maka dalam setiap kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan yang dibuat pada umumnya menimbulkan pro kontra serta dampak yang beragam. Beberapa dampak positif dari Perda ini adalah dapat membantu pemerintah dan birokrasinya untuk memperbaiki citra, kinerja dan prestasinya menjadi lebih baik. Misalnya dalam upaya mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, setiap Kepala Daerah wajib memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta laporan keterangan pertanggung jawaban kepada DPRD serta menginformasikannya kepada seluruh masyarakat umum.

Dengan adanya laporan secara berkala ini, maka masyarakat diuntungkan karena dapat dengan lebih terukur menilai kinerja dan prestasi yang telah dicapai oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat pun akan lebih tercerdaskan dan tidak akan terjebak pada penilaian berdasarkan kepentingan politis semata, karena laporan pertanggung jawaban yang disampaikan pemerintah bersifat transparan dan akuntabel yang berdasarkan indikator pencapaian kinerja yang jelas dan terukur.

Dalam aspek pengawasan, Peraturan Daerah ini juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat serta anggota legislatif di DPRD dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Masyarakat dapat berpartisipasi aktif melakukan proses checks and balance dengan memberikan informasi adanya indikasi korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintahan daerah. Informasi yang disampaikan juga dapat berupa masukan saran dan pendapat, bahkan kritik sekalipun dalam rangka melakukan perbaikan serta penyelesaian atas suatu masalah.

Dari penyerapan informasi ini, pemerintah baik eksekutif maupun legislatif dapat lebih melakukan perbaikan kinerja, optimalisasi pelayanan serta advokasi kepada masyarakat. Pemerintah juga diuntungkan karena dapat dengan lebih mudah melihat kondisi riil yang ada di tengah masyarakat. Kondisi riil di tengah masyarakat ini dapat dijadikan sebagai indikator bagi pemerintah dalam menyusun tahapan serta prioritas pembangunan di daerah dengan lebih baik. Sehingga jika tahapan dan prioritas pembangunan yang dirancang dapat lebih tepat sasaran, niscaya dapat mendorong terjadinya percepatan pembangunan di daerah itu sendiri.

Sedangkan beberapa dampak negatif yang mungkin timbul dari pemberlakuan Perda ini adalah pada aspek transparansi informasi. Pada umumnya, transparansi menyangkut masalah keterbukaan informasi, sesuatu yang cenderung bersifat timpang di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang telah dicengkeram oleh pemerintah otoriter selama puluhan tahun, transparansi informasi cenderung diabaikan atau bahkan dengan sengaja dihambat oleh pihak penguasa. Akibatnya, terjadi ketimpangan informasi yang dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan perkembangan demokrasi itu sendiri.

Maka perancangan serta pemberlakuan Perda ini harus pula ditunjang oleh kesiapan dari seluruh pihak dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aktivitasnya. Karena jika tidak, maka hal ini dikhawatirkan akan menjadi bumerang dan dapat berdampak buruk bagi birokrasi yang bobrok dan tidak memiliki kesiapan mental dalam menghadapi desakan dari masyarakat.

Selain itu, salah satu kekhawatiran terbesar dari ketidaksiapan Pemerintah dalam pemberlakuan Perda ini adalah adanya tindakan dan provokasi yang tidak bertanggung jawab dari segelintir oknum atau pihak yang ingin menjadikan kewajiban transparansi ini sebagai ajang pemerasan kepada Pemerintah. Maka sia-sialah pembuatan Perda ini jika hanya mempertemukan birokrasi yang korup dengan oknum pemeras yang serakah.

Akhir kata, semoga dengan adanya Peraturan Daerah tentang Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ini, dapat semakin meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta dapat menjadi instrumen penting bagi Pemerintah dalam upaya mengembalikan kepercayaan dan ekspektasi masyarakat. Karena keyakinan masyarakat terhadap kredibilitas Pemerintah akan berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan dan partisipasi masyarakat dalam membantu Pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Wallahua’lam.***